Bola.com, Jakarta - Tahun 2025 menjadi momen penuh suka cita dan sangat istimewa bagi publik sepak bola khususnya di Kota Yogyakarta.
Ya, klub PSIM Yogyakarta berhasil mengawinkan prestasi luar biasa, selain resmi promosi ke Liga 1, mereka juga menyegel gelar juara Liga 2 2024/2025.
PSIM Yogyakarta ditahbiskan sebagai kampiun Liga 2 musim ini usai membekuk Bhayangkara FC 2-1 dalam laga final di Stadion Manahan, Solo, Rabu (26/2/2025) malam. Gol dari Rafinha dan Roken Tampubolon semakin menyempurnakan musim istimewa bagi tim berjulukan Laskar Mataram.
Berbicara soal PSIM, tim ini tidak bisa dikesampingkan dalam perkembangan sepak bola di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). PSIM adalah pionir bagi persepak bolaan di wilayah kerajaan Mataram.
Nama PSIM Yogyakarta begitu melegenda sebagai klub besar dan penuh sejarah di DIY. Sejarah terbentuknya PSIM dimulai pada 5 September 1929 dengan lahirnya organisasi sepak bola yang diberi nama Perserikatan Sepak Raga Mataram atau disingkat PSM.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Ikut Membidani Lahirnya PSSI
Keberadaan PSIM tak bisa dipisahkan dari lahirnya organisasi sepak bola Indonesia yakni PSSI pada 1930. Satu tahun setelah PSIM terbentuk, PSSI lahir di Yogyakarta, yang ikut diinisiasi oleh enam tim legendaris lainnya, yaitu Persija Jakarta, Persis Solo, Persib Bandung, PSM Madiun, PPSM Magelang, dan Persebaya Surabaya.
Dicetuskannya PSSI tak lepas dari pertemuan yang digelar di Yogyakarta pada waktu itu. Perwakilan dari tiap-tiap Bond atau klub sepak bola di masa itu menyumbangkan gagasan dan ide hingga lahirnya PSSI, yang pertama kali dipimpin Soeratin Sosrosugondo.
Sebagai buktinya monumen PSSI atau dikenal juga dengan wisma Soeratin masih berdiri kukuh di Jalan Mawar Kota Yogyakarta, hanya beberapa meter dari Stadion Mandala Krida. Bangunan yang penuh sejarah, sebagai saksi bisu lahirnya PSSI.
PSIM sebagai sebuah warisan bersejarah, menjadi hal yang membanggakan terutama bagi wilayah Kota Yogyakarta.
Slogan Tansah Bungah Marang Warisane Simbah, selalu menjadi semboyan bagi jiwa muda di Kota Gudeg akan keberadaan PSIM.
Slogan yang mengandung arti selalu bangga dan gembira dengan apa yang sudah diwariskan pendahulu. PSIM yang penuh sejarah selayaknya wajib dijaga dan dirawat oleh para penerusnya, baik pemerintah daerah, manajemen klub, skuad, hingga para pendukungnya.
Torehan Prestasi
PSIM sudah eksis saat kompetisi sepak bola Indonesia untuk pertama kalinya bergulir pada era 1930-an. Dengan format kompetisi masih bernama Perserikatan, PSIM pernah mencicipi gelar juara pada edisi 1932.
PSIM mengungguli Persija Jakarta pada laga final. Sekaligus menjadi satu-satunya gelar juara yang pernah direngkuh oleh PSIM pada era perserikatan.
Setelah itu PSIM lebih sering menempati peringkat kedua atau runner-up, seperti pada 1939, 1940, 1941, 1943, dan musim 1948.
Beranjak ke kompetisi Liga Indonesia sampai era saat ini, PSIM sempet menyegel juara Divisi I (kasta kedua di eranya) pada 2005
PSIM juga punya sederet prestasi untuk kasta kedua. Beberapa diantaranya pernah menjadi runner-up Divisi I tahun 1985, 1987, dan 1992.
Deretan prestasi yang sangat membanggakan bagi pemerhati sepak bola di Kota Yogyakarta khususnya pendukung PSIM.
Alami Pasang Surut
Sempat begitu digdaya pada awal persepak bolaan Indonesia, PSIM lambat laun mengalami fase naik turun. Pada medio 1970-an, PSIM belum bisa bicara di level kompetisi utama atau kasta tertinggi.
Kemudian saat era Ligina pada 1994, prestasi PSIM mengalami pasang surut. PSIM juga pernah mengalami degradasi pada Liga Indonesia 1994-1995 dan promosi dua tahun kemudian.
Setelah bertanding selama tiga musim di Divisi Utama, PSIM kembali harus terdegradasi ke Divisi I pada musim kompetisi 1999-2000 atau saat kompetisi bernama Liga Bank Mandiri edisi pertama. Empat tahun PSIM berjuang di Divisi I sampai akhirnya naik lagi pada 2005.
Kebijakan PSSI menggabungkan format satu wilayah menjadi ISL pada 2008, lagi-lagi membuat PSIM gagal melaju dan terpaksa kembali ke Divisi Utama. Perjuangan tim pujaan Brajamusti dan Mataram Independent ini pun terus dilakukan hingga saat ini.
Prestasi PSIM sempat digeser oleh tim-tim tetangga seperti Persiba Bantul yang mampu menjuarai Divisi Utama pada 2010.
Saudara mudanya PSS Sleman pada musim 2018. PSIM kemudian beberapa musim terakhir mencoba berjuang agar bisa promosi ke Liga 1.
Sampai akhirnya impian itu benar-benar terwujud musim ini. Di bawah naungan pelatih Seto Nurdiyantoro dan berlanjut ke Erwan Hendarwanto, PSIM sangat superior sejak fase penyisihan grup, babak 8 besar, hingga menjadi juara kasta kedua dan menjadi gelar kedua sepanjang sejarah.
Punya Suporter Loyal
Kiprah PSIM dalam mengarungi kompetisi juga tidak bisa dipisahkan dengan para penggemarnya. Fanatisme dua kelompok suporternya yakni Brajamusti dan Maident tak perlu diragukan lagi untuk PSIM.
Mereka dikenal sebagai satu di antara suporter dengan massa yang terbesar di DIY. Jika PSIM bermain di kandang sendiri, sudah dipastikan Stadion Mandala Krida atau Stadion Sultan Agung Bantul yang pernah menjadi markas, bakal penuh sesak.
Tidak hanya saat tampil di kandang, kedua kelompok suporter tersebut tidak jarang ikut menemani perjuangan PSIM di kandang lawan. Baik Brajamusti dan Maident dikenal dengan nyanyian lantang sebagai teror untuk meruntuhkan mental pemain lawan.
Menarik untuk dinantikan kiprah PSIM dan loyalitas para pendukungnya yang bisa ditunjukkan saat pentas Liga 1 musim 2025/2026.